Harapanku (Literasi di Sekolah)
Assalamu’alaikum....
Hai teman-teman.... Kali ini kita kembali bertemu di Zuhdialfi Notes. Kita sudah memasuki periode
baru, yaitu bulan Februari! Edisi Februari kali ini akan memberi tiga tulisan
yang semuanya berbeda secara genre. Salah satunya adalah ini. Kali ini kita akan membahas tentang esai
lagi. Esai yang satu ini beda. Kenapa? Karena tulisan ini dulunya digunakan
penulis untuk mengikuti lomba de Literasi (Olimpiade Literasi Nasional)
yang diselenggarakan oleh lembaga amal Dompet Dhuafa. Salah satu kategori yang
Alfi ikuti adalah Kategori Siswa Menulis. Kategori tersebut mengharuskan para
peserta lomba menulis tentang pelaksanaan kegiatan literasi di sekolah dan
harapan untuk kegiatan literasi pada masa yang akan datang. Syaratnya
sebetulnya mudah, tetapi menyebalkan. Kenapa? Karena karya tulis tersebut harus
ditulis menggunakan tangan di kertas A4 sebanyak 3 halaman untuk anak SMA.
Namun, yang membuatku bersemangat mengikuti lomba tersebut adalah karena aku
punya sumber riset yang bisa kugunakan. Seperti kata Tere Liye, riset adalah
segalanya. Kebanyakan koran atau majalah anak (Bobo) yang dimiliki Alfi
memiliki tulisan tentang literasi di Indonesia dan minat literasi pada pelajar.
Dan yang membuat mudah adalah, narasumber (teman sekelas Alfi) kebanyakan
nyaris tidak menyukai kegiatan membaca. Mereka lebih suka bermain game,
mendengarkan lagu, atau yang bikin miris adalah update status (biasalah, kids
zaman now). Kebanyakan bagian tulisan lebih banyak menyindir daripada memuji
tentang pelaksanaan kegiatan literasi di sekolahku. Maka dari itu, kalo merasa
tersindir akui sajalah. Ini realita (nyata), bukan ekspektasi (harapan). Dan
satu hal, jangan tertipu dengan judulnya. Sekilas judulnya seperti anganku
(cita-cita) tetapi ternyata isinya tentang pelaksanaan literasi di sekolahku.
Hiks... tapi Alfi sedih. Kenapa? Karena ternyata karya tulis Alfi tidak menjadi
pemenang. Ya sudahlah, yang penting sudah berusaha semaksimal mungkin. Kalian
penasaran bukan tentang tulisannya seperti apa? Nah, silakan liat dibawah....
Harapanku
Halo,
namaku Muhammad Satya Zuhdialfi. Biasa dipanggil Satya atau Alfi. Umurku 16
tahun. Hobiku membaca buku novel dengan genre sejarah atau fiksi. Aku sangat
menyukai sejarah, terutama sejarah Indonesia dan sejarah Islam. Aku bersekolah
di SMAN 15 Semarang. Kelas 10, jurusan IPS. Aku memilih jurusan IPS karena aku
menyukai pelajaran sejarah dan ekonomi. Di jurusan IPA kan tidak ada pelajaran
seperti itu, kecuali kalau ada program lintas minat (tergantung kebijakan tiap
sekolah). Maksudnya, lintas minat itu kalau di jurusan IPS (di sekolahku) ada
pelajaran Matematika dan Kimia. Sedangkan di jurusan IPA ada pelajaran Geografi
dan Ekonomi. Kali ini aku akan bercerita tentang pengalaman selama bersekolah
di sini dan harapanku untuk sekolah pada masa yang akan datang.
Selama
sehari, paling tidak ada empat sampai lima mata pelajaran karena sekolahku
sudah menerapkan sistem Full Day School (Lima Hari Sekolah). Kami pulang jam
setengah 4 sore dengan tambahan waktu 15 menit untuk literasi. Jadi program
literasi tersebut dilaksanakan ketika menjelang pulang sekolah. Untuk
pelaksanaan literasi di sekolahku, kalau menurutku kurang maksimal. Aku sangat
senang membaca karena sesuai dengan ayat di dalam Al-Qur’an surah Al-‘Alaq yang
artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS
Al-‘Alaq [96] : 1).
Selain
itu, Allah juga berfirman: “.... Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,
“Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada
yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imran [3]
: 7). Kedua ayat tersebut memerintahkan kita untuk membaca dan menuntut ilmu
(belajar).
Literasi
tersebut dilaksanakan selama 15 menit sesudah pelajaran selesai. Kalau sudah
jam pulang siswa ingin segera pulang ke rumah. Apalagi yang tidak hobi membaca
buku. Rata-rata temanku lebih suka membaca dan mengetik di media sosial. Ketika
literasi berlangsung, yang membaca buku non-pelajaran di kelasku ya hanya aku
sendiri. Yang lain biasanya bercanda atau bermain di media sosial seperti Line
atau Instagram. Mereka masih menganggap kegiatan membaca buku sebagai kegiatan
yang membosankan. Kenapa kegiatan membaca buku dianggap membosankan? Karena
sebagian besar buku yang dimiliki oleh siswa hanya buku pelajaran. Menurut
sebagian temanku, jika membaca buku pelajaran itu sangat membosankan karena
sebagian besar isi buku tersebut sudah diajarkan oleh guru sehingga siswa tidak
memiliki ketertarikan untuk membaca dan mempelajari. Rata-rata siswa hanya
membaca buku pelajaran ketika menjelang ulangan harian. Mereka lebih memilih
menggunakan uang untuk membeli kuota internet dibandingkan menggunakan uang
untuk membeli buku novel. Paling sering siswa hanya membaca di media sosial.
Sangat sedikit siswa yan memiliki buku novel atau buku non-pelajaran karena
mereka kemungkinan besar belum mengetahui kemanfaatan dari membaca. Guru yang
mendampingi siswa saat literasi berlangsung masih sering membaca WhatsApp.
Apalagi di media sosial sering terjadi penyebaran berita palsu (hoax) oleh orang yang tidak bertanggung
jawab. Bangsa Indonesia akan menjadi rentan untuk diadu domba hanya karena
membaca hoax yang belum diketahui
kebenarannya.
Saat
ini kita mudah terpengaruh oleh hoax karena
minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Selain itu, UNESCO juga
mencatat bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya,
setiap 1000 orang, hanya ada satu orang yang mempunyai minat membaca.
Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku dalam setahun (Republika, 11 September 2017). Kondisi
ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN lainnya,
yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Angka tersebut kian timpang
saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10 sampai
20 buku dalam setahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10 hingga 15 buku
dalam setahun. Tingkat literasi Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65
negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris, tingkat membaca siswa
Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara (Republika, 12 September 2015). Kemudian, budaya menonton televisi
masyarakat Indonesia yang tinggi. Hal ini melemahkan minat membaca dan menulis
siswa di Indonesia (Pojok Network dalam Republika, 19 Mei 2016). Masyarakat
masih menganggap kegiatan membaca sebagai kegiatan yang digunakan untuk
menghabiskan waktu, bukan untuk mengisi waktu atau menambah ilmu. Dapat
disimpulkan bahwa membaca belum menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat
Indonesia, tetapi membaca lebih menjadi kegiatan ‘iseng’. Rendahnya budaya
literasi di Indonesia di antaranya disebabkan pejabat pendidikan dan birokrat
pendidikan yang tidak paham mengenai ihwal literasi. Akibatnya, literasi tidak
menjadi bagian dari kurikulum apalagi dalam materi pembelajaran siswa, termasuk
dalam Kurikulum 2013 (K-13). Pemerintah telah berupaya mengatasi persoalan
rendahnya literasi di Indonesia, salah satunya adalah dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Namun, implementasinya belum menunjukkan hasil
yang nyata (Republika, 11 September 2017).
Pemerintah
saat ini belum memasukkan literasi sebagai bagian dari pendidikan budi pekerti
karena masih menganggap pendidikan budi pekerti dilakukan melalui pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) serta melalui Pelajaran Agama
(Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) dan Budi Pekerti.
Menurutku, literasi bisa menjadi salah satu sarana dalam penguatan karakter
siswa. Memang pendidikan agama adalah satu cara terpenting untuk menguatkan
karakter seseorang. Dengan demikian, kegiatan literasi melalui membaca buku
fiksi atau buku pengetahuan (bukan buku pelajaran) mengenai hal tertentu bisa
menguatkan karakter seseorang.
Harapanku,
kegiatan literasi yang sudah dilaksanakan di sekolahku bisa berkembang menjadi
lebih baik lagi. Caranya ialah menambah waktu pelaksanaan literasi walaupun
tetap dilaksanakan saat akhir jam sekolah. Selain itu, harus ada aturan yang
jelas mengenai ketentuan dalam pelaksanaan literasi. Aturan tersebut adalah
semua siswa dan guru harus membawa buku bacaan seperti novel dan bacaan
lainnya. Ada sekelompok orang yang bertugas memeriksa, apakah orang tersebut
membawa bacaan atau tidak. Jika ketahuan tidak membawa buku bacaan, orang
tersebut harus meminjam di Perpustakaan. Di setiap kelas harus ada lemari untuk
menyimpan buku bacaan siswa agar siswa tidak perlu membawa buku bacaan setiap
hari jika buku tersebut terlalu tebal. Para siswa bisa saling meminjamkan buku
dan menjaga buku tersebut. Semua siswa dan guru harus membaca, tidak boleh
membaca media sosial saat literasi berlangsung. HP ditampung di lemari yang
digunakan untuk menyimpan buku bacaan para siswa sehingga siswa dan guru tidak
bisa mengoperasikan HP saat literasi berlangsung. Saat literasi berlangsung,
sebaiknya ada lagu pengiring. Lagu yang mengiringi literasi sebaiknya berupa
lagu instrumental atau lagu klasik yang menenangkan. Itu adalah harapanku untuk
sekolahku pada masa yang akan datang. Semoga dapat terlaksana. Amin.
Komentar
Posting Komentar